
DKI Jakarta hari ini (22 Juni 2010) genap berusia 483 tahun, kemeriahan perayaan dilakukan banyak kalangan, baik pemerintahan, swasta, pelajar, maupun lainnya, termasuk diantaranya adalah penyelenggaraan Jakarta Fair atau Pekan Raya Jakarta (PRJ) yang berlangsung dari 12 Juni hingga 11 Juli 2010 di Kemayoran Jakarta Pusat.
Usia empat abad lebih yang kini dimiliki DKI Jakarta, sudah sepantasnya mengalami banyak perubahan, tidak hanya secara fisik pembangunan, tetapi juga pranata sosial, watak, etos, dan kultur yang menaungi warga dan siapapun yang berinteraksi didalamnya.
Hasil sensus penduduk 2010 yang baru lalu, menyebutkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk DKI Jakarta, yakni 9.5 juta jiwa, tentu ini menjadi persoalan tersendiri yang perlu mendapat kajian, mengingat ketika tahun 2007, hasil pencocokan dan penelitian dalam rangka pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta, jumlah penduduk dikatakan sekitar 7.871.215 jiwa (sumber : www.beritajakarta.com, 21 Maret 2007) ini berarti terjadi penambahan sebanyak 1.7 juta jiwa dalam kurun waktu 3 tahun. Benarkah demikian?
Wajah Jakarta memasuki usia ke-483, tidak sedikit warga yang berharap dapat berubah semakin baik, tidak lagi banyak janji politik disampaikan petinggi Pemda maupun elit politik di parlemen, yang hanya sesaat menyenangkan hati masyarakat. Semisal janji penanganan banjir dan kemacetan, hingga kini tidak kunjung jelas penangangannya, justru kemacetan semakin menjadi momok permasalahan sosial kemasyarakatan, tidak lagi sekedar persoalan penegakan hukum ataupun penertiban.
Belum lagi soal kemiskinan yang sudah bukan rahasia lagi, bahwa wajah DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI, yang seharusnya jauh lebih sejahtera dari wilayah lain, justru masih diwarnai dengan banyaknya kaum miskin kota yang hidup diberbagai tempat yang tidak semestinya.
Pengamatan Tim Gerejani saat beristirahat di suatu warung makan pinggir kali Jl. Raden Saleh Raya Jakarta Pusat, siang tadi (pukul 12.20 wib) jelas terlihat suatu 'kediaman' sejumlah orang (kemungkinan satu keluargaa) dikolong jembatan Jl. Raden Saleh. Nampak pada 'kediaman' tersebut 5 orang terdiri dari 4 orang dewasa (1 perempuan, 3 pria) dan 1 anak lelaki, dengan tempat tidur, bale bambu tempat duduk/tidur, peralatan/perlengkapan masak, sejumlah kandang burung dara, kurungan ayam, dan beberapa hal lain selayaknya rumah sesungguhnya.
Tentu keberadaan 'rumah/kediaman' kolong jembatan dibawah jembatan Jl. Raden Saleh Raya Jakarta Pusat, bukan satu-satunya yang ada di Jakarta, yang menjadi permasalahan kini adalah, apakah realitas tersebut akan selalu ada dalam hirup-pikuk kehidupan megapolitan DKI Jakarta? Ataukah keberadaan masyarakat seperti mereka, mendapat pembiaran dari Pemerintah DKI Jakarta? ataukah memang mereka justru mendapat 'ijin' dari oknum tertentu?
Permasalahan sosial kemasyarakatan seperti itu, ditambah lagi persoalan kemacetan, sebagaimana selalu terjadi setiap pagi di sepanjang Jl. Kol. Soegiono menuju Jl. K.H. Abdullah Syafii, termasuk juga sepanjang Jl. Kalimalang menuju Cawang, kemacetan dapat berlangsung hingga 1 jam lamanya, jelas permasalahan sosial kemasyarakatan seperti ini tidak seharusnya dipertahankan keberadaannya di DKI Jakarta lebih lama lagi.
Selamat HUT ke-483 DKI Jakarta, selamat berbenah diri, selamat memberikan ruang kehidupan yang layak bagi siapapun yang ingin bernaung dibawah langit DKI Jakarta. Jadikan DKI Jakarta kota anugerah bagi semua, sebagaimana slogan sekaligus janji politik Fauzi Bowo-Priyanto ketika kampanye Pilkada 2007, selalu mendengung-dengungkan "Jakarta bagi semua". (DPT)